KOPISME
Oleh: Silvester
A. Baeng
Sang kepala desa suka minum
kopi. Persis kebiasaan di daerahnya; warisan turun temurun, Tradisi. Makanya selain
karena kesukaan, hitung-hitung dia ikut memelihara tradisi, budaya daerah.
Kalau tidak minum kopi kepalanya akan pening berat siang hari hingga malam.
Konon itu efek ketagihan tubuh akan kafein, tetapi baginya itu teguran dari
nenek moyang. Hanya sekali dalam hidupnya dia mengalami teguran itu. Dalam
sebuah penyeberangan veri yang menghabiskan waktu sehari semalam dia lupa
membawa bekal bubuk kopi. Di veri hanya ada minuman instan olahan kopi, ya
kapucino, moka. Tidak mempan. Harus kopi asli. Kepalanya pening. Ya hanya
sekali itu. Tetapi dari situ keyakinannya akan teguran nenek moyang menemukan
pembuktian. Sejak itu dia selalu membawa kopi bubuk kemanapun.
Dia memang maniak kopi. Pagi
minum kopi, sore minum kopi. Di antara kedua waktu itupun dia minum kopi, terlebih jika
ada tamu. Dari semua orang di desa, dia yang paling banyak tamu;
sekurang-kurangnya dua per hari. Jadi setidaknya setiap hari dia menghabiskan
dua cangkir besar kopi wajib pagi sore dan tambahan paling kurang dua cangkir
dari menjamu tamu. Jangan lupakan juga secangkir nyaris wajib karena hampir
setiap malam rumahnya dikunjungi para pemuda desa untuk bermain pimpong, catur
atau sekedar nonton tivi yang hanya dua orang di desa yang punya: dia dan
kepala sekolah SD.
Malam itu secangkir nyaris
wajib itu ikut menambah enam gelas kopi yang diminumnya pagi sore dan di
antaranya. Para pemuda berkunjung. Tetapi malam itu mereka tidak datang untuk
main pimpong, catur atau menonton tivi. Mereka diundang kepala desa untuk suatu
pembicaraan penting. Dengan kepala desa sebagai pemimpin, rapat itu berjalan
dengan lancar. Sebagai seorang eks anggota ABRI era perang di Timor Timur,
Timor Leste sekarang, dia sangat tegas. Tata tertib rapat diperhatikan betul.
“Jadi sudah jelas
sekarang. Badu, dimana kamu bertugas?” tanya tegas kepala desa.
“Dusun tiga
Bapak” jawab orang yang diacuh Badu tadi.
“Tarno?”
“Dusun satu pak”,
sahut Tarno.
“Markus?”
“Dusun dua pak”,
sahut Markus.
“Petrus?”
“Dusun empat
Bapak”, Petrus menjawab.
“Bagus. Untuk
kalian yang lain, seperti sudah dibagi tadi, ikut ketua di masing-masing
kelompok dusun kalian. Kerja yang efisien. Data itu harus sudah masuk Sabtu ini.
Paham?”
“Paham Pak”, para
pemuda menjawab kompak.
“Bagus. Sekarang
tambah kopinya.” Masing-masing pemuda mengajukan gelas kopinya yang sudah
tandas. Luri, istri kepala desa, satu-satunya wanita dalam kelompok itu, segera
mengisi gelas-gelas itu.
****
Pada sabtu yang dijanjikan,
para pemuda berkumpul kembali di rumah kepala desa. Gelas-gelas berisi kopi
segera diedarkan. Dan tentu saja secangkir besar untuk kepala desa.
“Bagaimana? Tidak
ada keluhan selama pengumpulan data ini jadi saya asumsikan semuanya lancar.”
Kepala desa paling tidak suka basa basi.
“Lancar pak”, para pemuda menyahut kompak.
“Laporannya?” Para
ketua kelompok dusun menyerahkan laporannya.
“Barangkali ada
yang mau menyampaikan catatan-catatan tertentu selama pengambilan data di
dusun-dusun?”
Tarno mengacungkan jarinya. Kepala
desa mengangguk.
“Dari dusun satu
hanya ada satu keluarga yang tidak minum kopi. Keluarga kepala sekolah. Mereka minum susu. Lagipula
ada laporan dari para tetangga kalau dia mencoba mempengaruhi mereka untuk
beralih dari kopi ke susu. Beberapa dari mereka sudah sedikit terpengaruh
antara lain dengan mencampur kopi dan susu. Kopi susu, katanya”. Tarno menjelaskan.
“Begitu ya. Bagus sekali”. Tarno tersenyum. “Yang
lain?” kepala desa melanjutkan.
“Dusun empat, pak”, Petrus menyahut. Kepala desa
mengangguk.
“Hampir mirip
dengan laporan saudara Tarno, pak. Di dusun lima banyak warga sudah tidak minum kopi. Setelah kami
selidiki, ternyata Pak Mantri yang berada di belakang semua itu. Warga yang
berobat ke Puskesmas disuruhnya pantang kopi. Warga jadi berpikir kalau kopi
itu buruk. Fitnah apalagi yang lebih kejam dari itu?” Petrus menjelaskan dengan
berapi-api.
“Musuh-musuh
budaya demikian harus kita singkirkan,” kata kepala desa dengan nada tinggi.
Jika demikian para pemuda hanya diam, diam-diam menyeruput kopi.
****
Para siswa SD menangis sejadi-jadinya. Ibu Yani yang
membantu di Puskesmas ikut menangis sejadi-jadinya. Kepala sekolah akan pindah.
Mantri di Puskesmas dimutasikan ke daerah asalnya. Dua truk kayu itu penuh
sesak barang-barang dari kedua keluarga. Kepala Desa yang hadir berada paling
depan dari kerumunan warga di alun-alun desa. Dia juga tak kuasa menahan air
mata yang mulai menitik diwajahnya. Orang-orang desa maklum. Kedua orang yang
pergi adalah sahabat-sahabatnya. Mereka ingat kata-kata kepala desa dalam
sambutannya pada malam perpisahan itu.
“Siapa lagi yang
akan menghadirkan warna lain dalam acara minumku? Hitam kopiku tidak akan lagi
ditemani coklat teh pak mantri dan putih susu pak kepala sekolah. Selamat jalan
sahabatku. Sampai jumpa lagi”.
Truk pelan-pelan bergerak
meninggalkan desa. Debu-debu yang biasanya terbang dengan liar di belakang
kendaraan hari itu hanya diam saja. Pagi tadi hujan.
****
Kepala desa keluar dari
kamarnya dengan setelan terbaiknya. Senyumnya lebar. Para pemuda yang duduk
bersila di atas tikar dengan bergelas-gelas kopi di depan mereka tahu betul
kalau kepala desa sedang bahagia. Tepat.
“Seperti yang
kalian lihat, saya sedang bahagia. Impian saya agar budaya kita ditegakan sudah
menemukan realisasinya yang paling besar. Musuh-musuh kebudayaan kita telah
berhasil kita singkirkan. Para pembelot dalam desa akan kita bereskan kemudian”, kepala desa berkata dengan
nada riang.
“Ayo minum”, lanjutnya kemudian. “Untuk
kopi dan budaya.”
Para pemuda
mengangkat gelas mereka tinggi-tinggi sambil menahan panas.
“Untuk kopi dan
budaya”. Seruh
mereka dengan kompak. Mereka minum. Ngobrol ngobrol dengan gaduh.
“Bapak, ada yang
mau saya tanyakan. Bagaimana dengan acara tujuh belasan nanti?” tanya tarno di
selah acara minum itu.
“Sudah saya
pikirkan. Bendera merah putihnya nanti kita perciki kopi biar ada bercak-bercak
kopinya. Bukankah itu mempertegas ciri kebudayaan kita?” tanya kepala desa
retoris. Para pemuda mengangguk-angguk menenggak kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar