Senin, 29 Juli 2013

Untaian Kata Penghapus lirih-Puisi Itu!



Gadisku

kutemui kau di ujung malam..

Membungkuk.. menjerit..

Tiap butiran yang jatuh dari kelopak sendumu itu

Melambangkan kepedihan..

Getaran itu..

Tak pernah kuterawang di sudut yang berbeda arah

Mengapa kau menjerit gadisku?

Jikalau jeritan hanya membuat parau lukamu

Karena mustahil kau akan ditoleh penguasa negeri ini..

Jangan kau menangis gadisku

Sebab tangisanmu

hanya semakin menyiksa batinmu yang berkecamuk segala aral

airmata hanya akan menjadi lelucon di sini





 





jangan salahkan ibumu!
Mengapa kau lahir
Karena semakin tua dunia semakin sombong
Siapa suruh kau lahir?
Itu oloknya!
.......
Bangkitlah!
Dengan alunan langkah yang anggun
Ukirkan lukisan indah di bibir mungilmu
Pada sela-sela jendela tempat kau bernaung
Jualkan suaramu!
Lantunkan irama jeritan syahdumu
tuk mereka yang tak pahami arti kebebasan
Pada mereka yang menjunjung tinggi kesombongan bobrok!
Tunjukkan bahwa gadis kecilku
Lebih memahami hidup
Tanpa harus berselimut menelan bulat-bulat jerih payah rakyat


Gadisku..
Kau terbuang bukan terpuruk
Kau hadir bukan tuk disesali
Tapi tuk melengkapi personil cerita alur drama dunia nyata
Terhenti dimana itulah arti hidup yang sesungguhnya
Gadisku mulia.
Kau fitrah pemilik jagat..

Minggu, 17 Februari 2013


KOPISME
Oleh: Silvester A. Baeng

Sang kepala desa suka minum kopi. Persis kebiasaan di daerahnya; warisan turun temurun, Tradisi. Makanya selain karena kesukaan, hitung-hitung dia ikut memelihara tradisi, budaya daerah. Kalau tidak minum kopi kepalanya akan pening berat siang hari hingga malam. Konon itu efek ketagihan tubuh akan kafein, tetapi baginya itu teguran dari nenek moyang. Hanya sekali dalam hidupnya dia mengalami teguran itu. Dalam sebuah penyeberangan veri yang menghabiskan waktu sehari semalam dia lupa membawa bekal bubuk kopi. Di veri hanya ada minuman instan olahan kopi, ya kapucino, moka. Tidak mempan. Harus kopi asli. Kepalanya pening. Ya hanya sekali itu. Tetapi dari situ keyakinannya akan teguran nenek moyang menemukan pembuktian. Sejak itu dia selalu membawa kopi bubuk kemanapun.
Dia memang maniak kopi. Pagi minum kopi, sore minum kopi. Di antara kedua waktu itupun dia minum kopi, terlebih jika ada tamu. Dari semua orang di desa, dia yang paling banyak tamu; sekurang-kurangnya dua per hari. Jadi setidaknya setiap hari dia menghabiskan dua cangkir besar kopi wajib pagi sore dan tambahan paling kurang dua cangkir dari menjamu tamu. Jangan lupakan juga secangkir nyaris wajib karena hampir setiap malam rumahnya dikunjungi para pemuda desa untuk bermain pimpong, catur atau sekedar nonton tivi yang hanya dua orang di desa yang punya: dia dan kepala sekolah SD.
Malam itu secangkir nyaris wajib itu ikut menambah enam gelas kopi yang diminumnya pagi sore dan di antaranya. Para pemuda berkunjung. Tetapi malam itu mereka tidak datang untuk main pimpong, catur atau menonton tivi. Mereka diundang kepala desa untuk suatu pembicaraan penting. Dengan kepala desa sebagai pemimpin, rapat itu berjalan dengan lancar. Sebagai seorang eks anggota ABRI era perang di Timor Timur, Timor Leste sekarang, dia sangat tegas. Tata tertib rapat diperhatikan betul.
“Jadi sudah jelas sekarang. Badu, dimana kamu bertugas?” tanya tegas kepala desa.
“Dusun tiga Bapak” jawab orang yang diacuh Badu tadi.
“Tarno?”
“Dusun satu pak”, sahut Tarno.
“Markus?”
“Dusun dua pak”, sahut Markus.
“Petrus?”
“Dusun empat Bapak”, Petrus menjawab.
“Bagus. Untuk kalian yang lain, seperti sudah dibagi tadi, ikut ketua di masing-masing kelompok dusun kalian. Kerja yang efisien. Data itu harus sudah masuk Sabtu ini. Paham?”
“Paham Pak”, para pemuda menjawab kompak.
“Bagus. Sekarang tambah kopinya.” Masing-masing pemuda mengajukan gelas kopinya yang sudah tandas. Luri, istri kepala desa, satu-satunya wanita dalam kelompok itu, segera mengisi gelas-gelas itu.
****
Pada sabtu yang dijanjikan, para pemuda berkumpul kembali di rumah kepala desa. Gelas-gelas berisi kopi segera diedarkan. Dan tentu saja secangkir besar untuk kepala desa.

“Bagaimana? Tidak ada keluhan selama pengumpulan data ini jadi saya asumsikan semuanya lancar.” Kepala desa paling tidak suka basa basi.
“Lancar pak”, para pemuda menyahut kompak.
“Laporannya?” Para ketua kelompok dusun menyerahkan laporannya.
“Barangkali ada yang mau menyampaikan catatan-catatan tertentu selama pengambilan data di dusun-dusun?”
Tarno mengacungkan jarinya. Kepala desa mengangguk.
“Dari dusun satu hanya ada satu keluarga yang tidak minum kopi. Keluarga kepala sekolah. Mereka minum susu. Lagipula ada laporan dari para tetangga kalau dia mencoba mempengaruhi mereka untuk beralih dari kopi ke susu. Beberapa dari mereka sudah sedikit terpengaruh antara lain dengan mencampur kopi dan susu. Kopi susu, katanya”. Tarno menjelaskan.
“Begitu ya. Bagus sekali”. Tarno tersenyum. “Yang lain?” kepala desa melanjutkan.
            “Dusun empat, pak”, Petrus menyahut. Kepala desa mengangguk.
“Hampir mirip dengan laporan saudara Tarno, pak. Di dusun lima banyak warga sudah tidak minum kopi. Setelah kami selidiki, ternyata Pak Mantri yang berada di belakang semua itu. Warga yang berobat ke Puskesmas disuruhnya pantang kopi. Warga jadi berpikir kalau kopi itu buruk. Fitnah apalagi yang lebih kejam dari itu?” Petrus menjelaskan dengan berapi-api.
“Musuh-musuh budaya demikian harus kita singkirkan,” kata kepala desa dengan nada tinggi. Jika demikian para pemuda hanya diam, diam-diam menyeruput kopi.

****
Para siswa SD  menangis sejadi-jadinya. Ibu Yani yang membantu di Puskesmas ikut menangis sejadi-jadinya. Kepala sekolah akan pindah. Mantri di Puskesmas dimutasikan ke daerah asalnya. Dua truk kayu itu penuh sesak barang-barang dari kedua keluarga. Kepala Desa yang hadir berada paling depan dari kerumunan warga di alun-alun desa. Dia juga tak kuasa menahan air mata yang mulai menitik diwajahnya. Orang-orang desa maklum. Kedua orang yang pergi adalah sahabat-sahabatnya. Mereka ingat kata-kata kepala desa dalam sambutannya pada malam perpisahan itu.
“Siapa lagi yang akan menghadirkan warna lain dalam acara minumku? Hitam kopiku tidak akan lagi ditemani coklat teh pak mantri dan putih susu pak kepala sekolah. Selamat jalan sahabatku. Sampai jumpa lagi”.

Truk pelan-pelan bergerak meninggalkan desa. Debu-debu yang biasanya terbang dengan liar di belakang kendaraan hari itu hanya diam saja. Pagi tadi hujan.

****
Kepala desa keluar dari kamarnya dengan setelan terbaiknya. Senyumnya lebar. Para pemuda yang duduk bersila di atas tikar dengan bergelas-gelas kopi di depan mereka tahu betul kalau kepala desa sedang bahagia. Tepat.
“Seperti yang kalian lihat, saya sedang bahagia. Impian saya agar budaya kita ditegakan sudah menemukan realisasinya yang paling besar. Musuh-musuh kebudayaan kita telah berhasil kita singkirkan. Para pembelot dalam desa akan kita bereskan kemudian”, kepala desa berkata dengan nada riang.
“Ayo minum”, lanjutnya kemudian. “Untuk kopi dan budaya.
Para pemuda mengangkat gelas mereka tinggi-tinggi sambil menahan panas.
“Untuk kopi dan budaya”. Seruh mereka dengan kompak. Mereka minum. Ngobrol ngobrol dengan gaduh.
“Bapak, ada yang mau saya tanyakan. Bagaimana dengan acara tujuh belasan nanti?” tanya tarno di selah acara minum itu.
“Sudah saya pikirkan. Bendera merah putihnya nanti kita perciki kopi biar ada bercak-bercak kopinya. Bukankah itu mempertegas ciri kebudayaan kita?” tanya kepala desa retoris. Para pemuda mengangguk-angguk menenggak kopi.