Puing-Puing Hati
(FR89)
            Bola
mata John pada saat itu sedang menatap seorang gadis yang melewatiya,
membelalak tanpa berkedip, tanpa takut pada debu jalanan yang beterbangan. Ia
hanya terus menatap gadis itu dari jauh di sela keramaian. Matanya memerintah
kakinya untuk mengikuti jejak ‘bidadari’ itu; mau kenalan, maksudnya. Ketika
gadis itu menyusuri jalan raya, John pun tetap memfokuskan pandangannya pada
gadis itu. Banyak kendaraan lalu lalang menghalangi pandangannya tetapi ia
tetap berusaha menjangkau gadis itu pada jarak kurang dari 100 meter.
            Gadis
itu menuju kantor Telkom, John dengan langkah seribu mulai menyusurii jalan
raya, membuntuti gadis tersebut di tengah kebisingan mesin beroda empat dan
dua.  John pun memasuki kantor tersebut,
dengan malu ia mendekati gadis itu. Secara diam-diam John menatapnya dan
berdengum, inilah cinderelaku! Betapa agung karya ciptaan Tuhanku…
            Hatinya
mulai berbunga asmara. Beberapa saat kemudian gadis itu keluar dari kantor
Telkom tapi penanya ketinggalan. 
Kata seorang pegawai Telkom
“Nona, penanya ketinggalan nih.” Namun gadis itu tidak mendengarnya. 
John segera menghampiri
pegawai tersebut dan berkata, “ Biar aku yang berikan padanya, Pa”. 
Lalu John mulai mengejar
gadis tersebut, tetapi  sang gadis telah
melewati jalan raya dan hendak menumpang Damri dengan tujuan kampus. John
merasa ketinggalan kesempatan kali pertama. Tapi dengan segera ia menyeberangi
jalan raya tersebut, hendak menumpang bus yang sama, mau memburu kesempatan
berikutnya. Setibanya di atas bus itu, ia mencari gadis yang diincarnya. Pada
saat itu gadis itu duduk sendirian di deretan kedua dari depan kemudi. John
pergi mendekati gadis tersebut lalu duduk di samping si gadis.
Setelah menarik nafas
dalam-dalam, John mulai membuka pembicaraan, “ Ini penamu yang tertinggal di
kantor Telkom, benar?” 
Gadis itu pun langsung
mengecek tasnya dan menjawab,“Ya, benar, itu penaku, trima kasih ya!”.
 Keduanya terlibat pembicaraan singkat. Sekedar
basa basi ringan yang sudah dikonsepkan John sebelumnya. 
“Nama saya Mia, semester IV
FISIP” gadis itu mulai memperkenalkan dirinya,. 
Dan John pun mulai mengupas
jati dirinya, “Saya John, FKIP Bahasa Inggris semester VI”.
 Keduanya mulai bercakap-cakap dengan penuh
canda tawa, John mulai akrab dengan Mia di sepanjang jalan Halte-Kampus. Mia
pun merasa senang karena dapat dihibur dengan humor-humor John. Setibanya di
Oesapa, tepatnya di depan Unkris, John merasa tidak ingin berpisah dengan Mia
nantinya. 
John pun tiba-tiba
melontarkan tanya, “Bolehkah kita berjumpa lagi?”
Mia menjawab,” Boleh,
kapan?”
            “Kapan
saja kalau kau mau,” kata John.
Mia pun berpikir, lanjutnya,
“Hari…Sabtu?” 
”Boleh” jawab John. 
Mereka pun saling tukar
nomor Hp. Setiba di kampus, tepatnya di cabang FKIP, John turun.
“Ingat ya, jangan lupa
kontak lewat Hp!”
“OK!” jawab Mia.
Dua hari kemudian, tepatnya
hari Sabtu mereka saling berkomunikasi lewat Hp untuk menentukan jam berapa dan
di mana mereka harus bertemu. Terjadilah perang pikiran untuk menentukan jadwal
dan tempat yang tepat.
”Di pantai Tedis?”
“OK!” kata Mia, lanjutnya, “
Jam berapa?”
“Jam empat.”
“Boleh.”
            Pukul
tiga John telah tiba di pantai Tedis, dengan berbagai persiapan, bahkan telah
menyiapkan sekuntum bunga segar buat Mia. Tapi John meragukan bagaimana cara
berbicara saat menyerahkan bunga ini. Waktu terus berlari,tepat pada pukul lima Mia belum tiba juga.
John mulai tidak sabar menunggu. John mengangkat hp-nya dan menghubungi Mia
tapi nomor yang dituju itu tidak aktif. John mulai bertanya-tanya dalam
hatinya. Apakah ia hanya mempermainkan aku? 
            Bunga di genggaman John mulai layu.
Bagai kehancuran Hirosima dan Nagasaki itu, pikirnya. Sekali lagi ia
menghubungi nomor Mia, tetapi nomor itu tetap belum aktif. John mulai kesal dan
pada puncaknya ia melemparkan bunga itu pada gulungan ombak yang segera
melumatnya. Nomor Mia segera ia hapus dari memori Hp dan ingatannya. Diraihnya
kerikil kecil yang ada di dekatnya dan dilemparkannya ke arah bibir pantai. 
            “Teganya
kau Mia,” gumamnya. John pulang menggantung air mata.
            Sekarang John sendirian. Menjauhi
gadis itu, malah berharap tak lagi bersuah dengannya. Satu hal yang John paling
benci, dibohongi.
